PERMASALAHAN ANTAR NEGARA INDONESIA DENGAN PENYELESAIAN-NYA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
TABEL
No
|
Permasalahan
|
Negara
Lain yang Terlibat
|
Penyelesaian
|
1
|
Kasus
Ambalat
|
Malaysia
|
Melakukan
pertemuan liberal guna membahas masalah dengan perundingan, dan memutuskan
Pulau Ambalat tetap sebagai wlayah NKRI
|
2
|
Kasus
Wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datuk
|
Malaysia
|
Melalui
pertemuan Indonesia – Malaysia di Semarang pada tahun 1978, memutuskan
wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datuk menjadi bagian dari wilayah Malaysia
|
3
|
Kasus
Pulau Simakau
|
Singapura
|
Melakukan
klarifikasi bahwa pulau yang dimaksud adalah pulau Simakau milik Singapura.
Jadi, terdapat dua pulau yang bernama sama yang dimiliki Indonesia dan
Singapura
|
4
|
Kasus
Pulau Batik
|
Timor
Leste
|
Pemangku
adat antara wilayah Perbatasan Amyoung dan Ambenu, ingin menyelesaikan titik
batas dan meminta izin pemerintah pusat untuk memfasilitasi tersebut. Kedua
Negara belum diperbolehkan beraktivitas di daerah perbatasan tersebut
|
5
|
Kasus
Pulau Miangas
|
Filiphina
|
Dinyatakan
lebih lanjut dalam protocol perjanjian ekstradisi Indonesia – Filiphina
mengenai defisi wilayah Indonesia yang menegaskan Pulau Miangas adalah Milik
Indonesia atas dasar putusan Mahkamah Arbitrase Internasional 4 April 1928
|
6
|
Kasus
Pulau Nipa
|
Singapura
|
Kementrian
Pertahanan Mengkampanyekan Untuk Mereklamasi Pulau Nipa karena pada tahun
2004 sampai 2008 penduduk menjual pasir pantai Pulau Nipa kepada Singapura.
Langkah KemHan ini menghabiskan dana lebih dari 300 Milyar Rupiah.
|
MASALAH
PERBATASAN INDONESIA – TIMOR LESTE
Pada pertengahan Oktober
2013, konflik antarwarga di perbatasan Indonesia-Timor Leste kembali pecah.
Warga kedua negara saling serang dengan melempar batu dan kayu di perbatasan
Kabupaten Timor Tengah Utara (Indonesia) dengan Distrik Oecussi (Timor Leste).
Konflik ini menimbulkan ketegangan hubungan antarwarga hingga berhari-hari
berikutnya (Tempo,15 Oktober 2013). Konflik tersebut bukan pertama kali
terjadi, karena pada akhir Juli 2012 konflik serupa juga terjadi di kabupaten
yang sama, tetapi melibatkan warga dari desa yang berbeda.
Kasus konflik komunal di
perbatasan Indonesia-Timor Leste menarik, karena jenis konflik tersebut hampir
tidak terjadi di wilayah perbatasan darat Indonesia lainnya, baik di Kalimantan
maupun di Papua. Biasanya masalah yang muncul di wilayah perbatasan darat
tersebut berupa belum disepakatinya delimitasi dan demarkasi batas serta
maraknya aktivitas lintas batas ilegal. Bisa dikatakan jarang sekali terjadi
kekerasan antarwarga. Oleh karena itu, analisis terhadap konflik komunal di
perbatasan Indonesia-Timor Leste tersebut penting untuk dilakukan, agar
Indonesia dapat membuat langkah antisipasi sehingga kejadian serupa tidak
terjadi di masa depan. Tulisan ini berusaha menjelaskan kronologi konflik
komunal tersebut, faktor-faktor penyebab, usaha penyelesaian, dan langkah yang
bisa dilakukan ke depan.
KRONOLOGI
KONFLIK
Pada Oktober 2013,
Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di dekat perbatasan
Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara, jalan tersebut
telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan juga menggunakan zona bebas
sejauh 50 m. Padahal berdasarkan nota kesepahaman kedua negara pada tahun 2005,
zona bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia maupun
Timor Leste. Selain itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut merusak
tiang-tiang pilar perbatasan, merusak pintu gudang genset pos penjagaan
perbatasan milik Indonesia, serta merusak sembilan kuburan orang-orang tua
warga Nelu, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara.
Pembangunan jalan baru
tersebut kemudian memicu terjadinya konflik antara warga Nelu, Indonesia dengan
warga Leolbatan, Timor Leste pada Senin, 14 Oktober 2013. Mereka saling lempar
batu dan kayu. Aksi ini semakin besar karena melibatkan anggota polisi
perbatasan Timor Leste (Cipol) yang turut serta dalam aksi saling lempar
batu dan kayu tersebut. Dari aksi tersebut, enam warga Leolbatan dan satu
anggota Cipol menderita luka parah, sementara dari sisi Indonesia hanya ada
satu warga Nelu yang menderita luka ringan.
Setelah jatuhnya korban
dari kedua belah pihak, aksi saling serang kemudian dihentikan. Namun demikian,
warga masih berjaga-jaga di perbatasan masing-masing. Eskalasi konflik semakin
meningkat setelah terjadi insiden penggiringan 19 ekor sapi milik warga
Indonesia yang diduga digiring oleh warga Timor Leste masuk ke wilayah mereka.
Selanjutnya, 10 warga Indonesia didampingi enam anggota TNI Satgas-Pamtas masuk
ke wilayah Timor Leste untuk mencari 19 ekor sapi tersebut. Sementara itu,
ratusan warga lainnya dari empat desa di Kecamatan Naibenu berjaga-jaga di
perbatasan dan siap perang melawan warga Leolbatan, Desa Kosta, Kecamatan Kota,
Distrik Oekussi, Timor Leste. Berita terakhir yang terkumpul dari media massa,
warga masih berjaga-jaga di perbatasan (Tempo, 18
Oktober 2013).
Konflik tersebut bukan
pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia-Timor Leste. Satu tahun
sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan Timur Tengah Utara-Oecussi. Pada
31 Juli 2012, warga desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor
Tengah Utara, NTT, terlibat bentrok dengan warga Pasabbe, Distrik Oecussi,
Timor Leste. Bentrokan ini dipicu oleh pembangunan Kantor Pelayanan Bea Cukai,
Imigrasi, dan Karantina (CIQ) Timor Leste di zona netral yang masih
disengketakan, bahkan dituduh telah melewati batas dan masuk ke wilayah
Indonesia sejauh 20 m. Tanaman dan pepohonan di tanah tersebut dibabat habis
oleh pihak Timor Leste. Setelah terlibat aksi saling ejek, warga dari kedua
negara kemudian saling lempar batu dan benda tajam sebelum akhirnya dilerai
oleh aparat TNI perbatasan dan tentara Timor Leste (Sindo, 31 Juli 2012; Tempo,
2 Agustus 2012; dan Kompas,
6 Agustus 2012).
FAKTOR PENYEBAB KONFLIK
Terdapat beberapa faktor yang menjadi
penyebab terjadinya konflik komunal tersebut.
A.
Pertama, masih belum tuntasnya delimitasi
perbatasan antara kedua negara. Berdasarkan nota kesepahaman antara kedua
negara pada 2005, masih terdapat 4% perbatasan darat yang masih belum
disepakati. Menurut Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), kedua negara
masih mempersengketakan tiga segmen batas yaitu
·
segmen di Noelbesi Citrana, Desa Netemnanu
Utara, Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, dengan Distrik Oecussi, Timor Leste,
menyangkut areal persawahan sepanjang Sungai Noelbesi, yang status tanahnya
masih sebagai zona netral.
·
Segmen di Bijaelsunan, Oben, di Kabupaten
Timor Tengah Utara dengan Distrik Oecussi, yaitu pada areal seluas 489 bidang
tanah sepanjang 2,6 km atau 142,7 ha. Tanah tersebut merupakan tanah yang
disterilkan agar tidak menimbulkan masalah karena Indonesia-Timor Leste
mengklaim sebagai miliknya.
·
Segmen di Delomil Memo, Kabupaten Belu yang
berbatasan dengan Distrik Bobonaro, yaitu perbedaan identifikasi terhadap
Median Mota Malibaca pada aliran sungai sepanjang 2, 2 km atau pada areal
seluas 41,9 ha (Tempo, 15 Agustus 2012).
B.
Kedua, terjadi perbedaan interpretasi
mengenai zona netral yang terdapat di perbatasan kedua negara. Dari sudut
pandang Indonesia, pemerintah dan warganya menganggap bahwa zona netral adalah
zona yang masih belum ditetapkan statusnya sebagai milik negara Indonesia atau
Timor Leste, sehingga harus dikosongkan dari segala aktivitas warga. Sementara
dari sudut pandang Timor Leste, zona itu sebenarnya adalah wilayah Timor Leste
yang digunakan oleh PBB sebagai kawasan koordinasi keamanan antara TNI dan PBB,
sebagai tempat fasilitasi pembangunan pasar bagi warga di perbatasan, dan
sebagai tempat rekonsiliasi antara masyarakat eks Timtim dengan masyarakat
Pasabe, Distrik Oecussi. Dengan demikian, setelah PBB meninggalkan Timor Leste,
seharusnya zona netral tersebut tetap menjadi bagian wilayah kedaulatan Timor
Leste.
C.
Ketiga, terkait dengan aspek sosial budaya,
yaitu masih terdapat sentimen negatif antarwarga Indonesia dengan warga Timor
Leste. Sebenarnya, masyarakat Timor Tengah Utara dan Oecussi di perbatasan
berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu sama-sama orang Timor, baik itu suku
Tetun, Marae (Bunak), Kemak, dan Dawan. Hubungan kekerabatan pun sudah lama
terjalin, apalagi Timor Leste pernah menjadi bagian dari Indonesia sejak tahun
1975 hingga 1999. Namun, pasca pemisahan Timor Timur sebagai hasil referendum,
sentimen negatif tersebut menguat. Di satu sisi, warga Timor Leste, terutama
yang pada referendum menjadi bagian kelompok prokemerdekaan, melihat Indonesia
sebagai negara yang telah menjajah mereka selama hampir 25 tahun. Di sisi lain,
warga Indonesia melihat warga Timor Leste sebagai orang-orang yang tidak
berterima kasih, apalagi banyak anggota kelompok prointegrasi yang memilih
mengungsi ke wilayah Indonesia pasca referendum. Sentimen negatif ini semakin
menguat ketika masyarakat kedua negara sama-sama dalam kondisi miskin dan
mereka terlibat perebutan sumberdaya seperti lahan kebun dan sapi.
UPAYA
PENYELESAIAN
Indonesia sudah melakukan
berbagai tindakan untuk menyelesaikan permasalahan ini, baik tindakan yang
bersifat jangka pendek (penyelesaian konflik yang terjadi) maupun tindakan yang
bersifat jangka panjang (penyelesaian sumber konflik). Pada penyelesaian yang
bersifat jangka pendek, untuk konflik yang terjadi tahun 2012, aparat TNI dari
Korem 161 Wirasakti Kupang berhasil menghentikan pembangunan kantor QIC yang
dilakukan oleh pihak Timor Leste. Menurut Komandan Korem, pembangunan tersebut
sudah melewati tapal batas Indonesia sejauh 20 m sehingga TNI meminta Timor
Leste agar segera menghentikan pembangunan tersebut. Sambil menunggu
penyelesaian lebih lanjut, TNI bersama dengan tentara Timor Leste berhasil
menghentikan konflik antarwarga perbatasan kedua negara dan menciptakan kondisi
yang kondusif kembali (Tempo, 27 Juli 2012). Dari kasus di atas, Indonesia
mendapat pembelajaran bahwa kekuatan TNI yang ditempatkan di titik-titik
perbatasan ternyata masih kurang dalam menghentikan konflik antar warga
perbatasan, sehingga Komandan Korem di Kupang perlu datang sendiri ke lokasi
konflik. Oleh karena itu dalam jangka panjang, kekuatan TNI di tiap titik
perbatasan perlu ditambah agar di masa yang akan datang konflik-konflik
tersebut bisa diantisipasi.
Namun dalam kasus
2013, keterlibatan aparat keamanan dari kedua negara, baik Cipol-nya Timor
Leste maupun TNI-nya Indonesia, justru membuat konflik ini semakin besar.
Dengan kekuatan senjata api yang mereka pegang, keterlibatan aparat keamanan
justru semakin meningkatkan eskalasi konflik dan dapat menimbulkan korban yang
lebih besar. Padahal, aparat keamanan ini seharusnya bisa menjadi functional actor yang bisa
menenangkan warga dari negara masing-masing untuk tidak melakukan aksi
kekerasan, seperti yang terjadi pada kasus tahun 2012.
Dalam usaha penyelesaian
yang bersifat jangka panjang, Indonesia melakukan diplomasi dalam rangka
menyelesaikan delimitasi terhadap segmen-segmen yang masih belum disepakati.
Berdasarkan perjanjian perbatasan darat 2012, kedua negara telah menyepakati
907 koordinat titik-titik batas darat atau sekitar 96% dari panjang total garis
batas. Garis batas darat tersebut ada di sektor Timur (Kabupaten Belu) yang
berbatasan langsung dengan Distrik Covalima dan Distrik Bobonaro sepanjang
149,1 km dan di sektor Barat (Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah
Utara) yang berbatasan langsung dengan wilayah enclave Oecussi sepanjang 119,7
km (Ganewati Wuryandari, 2012). Upaya diplomasi ini tidak hanya berfokus pada
penyelesaian garis demarkasi terhadap tiga segmen batas yang belum disepakati,
tetapi juga pengenalan pengaturan di kawasan perbatasan yang memungkinkan warga
Timor Leste dan warga Indonesia yang berada di sisi perbatasan masing-masing
untuk bisa melanjutkan hubungan sosial dan kekeluargaannya yang selama ini
telah terjalin di antara mereka. (Website Sekretaris Negara, 20 Maret 2013).
Dalam upaya diplomasi untuk
menyelesaikan sisa segmen yang belum disepakati, hambatan yang perlu diantisipasi
adalah perbedaan pola pendekatan penyelesaian yang digunakan oleh masing-masing
pihak. Pihak Timor Leste dengan dipandu oleh ahli perbatasan dari United Nations Temporary Executive
Administration (UNTEAD) menekankan bahwa penyelesaian perbatasan hanya
mengacu kepada traktat antara Belanda-Portugis tahun 1904 dan sama sekali tidak
memperhitungkan dinamika adat-istiadat yang berkembang di wilayah tersebut.
Sementara itu, pihak Indonesia mengusulkan agar pendapat masyarakat adat ikut
dipertimbangkan (Harmen Batubara, 2013). Perbedaan pola pendekatan ini perlu
disamakan terlebih dahulu sebelum pembahasan tentang tiga segmen batas
dilanjutkan.
LANGKAH KE
DEPAN
Kasus penyelesaian konflik
perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste di atas menggambarkan bahwa
langkah jangka pendek dan jangka panjang telah dilakukan, baik melalui
penempatan kekuatan TNI maupun melalui negosiasi bilateral yang dikawal oleh
Kementerian Luar Negeri kedua negara. Namun demikian, hal yang perlu dilakukan
adalah pelibatan unsur masyarakat dalam upaya penyelesaian tersebut. Unsur
masyarakat di sini penting karena penguasaan tanah di perbatasan terkait erat
dengan adat-istiadat yang berlaku di sana. Pada satu sisi, pemerintah melakukan
perundingan di tingkat pemerintah, tapi pada sisi lain masyarakat adat membuat
kesepakatan-kesepakatan terkait batas lahan dan aturan pengelolaan kebun di
wilayah mereka, yang sangat mungkin hasilnya bertentangan dengan hasil yang
disepakati pemerintah.
Namun demikian, sebelum
pelibatan unsur masyarakat tersebut dilakukan, pemerintah Indonesia perlu
membekali warganya dengan pendidikan guna meningkatkan pengetahuan tentang
perbatasan dan menguatkan jiwa nasionalisme, sehingga keterlibatan masyarakat
akan memberikan dampak positif bagi posisi Indonesia dalam perundingan.
Gabungan kekuatan militer, diplomasi, dan unsur masyarakat ini dapat menjadi
senjata ampuh dalam mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI,
dan keselamatan segenap bangsa di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia.
0 Komentar:
Posting Komentar